Di post oleh : vidya mardalena
Ketika saya masih duduk di bangku SD, saya termasuk salah satu pecandu televisi. Tiada hari tanpa nonton tv. Biasanya saya nonton tv seharian dari pulang sekolah di siang hari sampai menjelang tidur malam. Acara tv favorit saya adalah tayangan kartun dan anime. Namun, tidak jarang pula saya menonton sinetron dan FTV.
Sinetron zaman saya SD dulu (sekitar tahun 2001-2006) dengan sekarang sepertinya tidak jauh berbeda. Ceritanya tentang tokoh baik yang terlalu baik, tokoh jahat yang terlalu jahat, perebutan warisan, amnesia, anak yang tertukar, dan yang paling seru menurut saya waktu itu: kisah cinta remaja (wah, sepertinya saya dulu sudah didewasakan oleh sinetron =)))
Khusus untuk kisah cinta remaja ini, sebenarnya plotnya benar-benar biasa. Di suatu sekolah ada murid pindahan. Cowo cakep orang Indonesia tapi habis sekolah di Amerika. Cowo itu jadi perbincangan hangat cewe-cewe di sekolah, tapi hanya satu cewe yang tidak suka dengannya, yaitu tokoh utama. Suatu hari, mereka berpapasan di koridor sekolah, lalu mereka tabrakan. Si cewe bawa buku banyak terus berhamburan. Waktu mereka mau membereskan, tiba-tiba tangan mereka berpegangan. Bla bla bla. Kemudian tokoh antagonis cemburu dan berusaha melenyapkan tokoh utama. Bla bla bla. Akhirnya mereka bahagia selamanya. Pikiran polos saya waktu itu langsung didoktrin: ooh…. Sepertinya masa-masa SMA akan sangat menyenangkan. Kita bisa pacaran, party, nongkrong, dan hidup glamour. Saya berpikiran seperti itu karena apa yang ditunjukan sinetron saat itu hanyalah itu.
Kini saya sudah duduk di bangku SMA. Apa yang saya pikirkan dulu ketika SD ternyata berbeda. SMA itu pelajarannya lebih rumit, saingan lebih banyak, bahkan saya tidak punya waktu untuk pacaran. Apalagi saya sudah duduk di bangku kelas akhir. Yang menjadi fokus saya sekarang adalah UN dan SNMPTN (dan ini hampir tidak pernah disinggung di sinetron). Mungkin ada beberapa teman saya yang menjalani hidup layaknya sinetron, tetapi tidak selebay itu juga. Maksudnya tidak sampai ada tokoh antagonis yang rela mencelakakan tokoh baik demi mendapatkan cowo =))
Perhatian saya beralih ke drama Korea sejak Full House ditayangkan. Karena alur cerita yang susah ditebak serta latar belakang cerita yang bervariasi, perlahan saya meninggalkan sinetron. Nah, salah satu drama yang menjadi favorit saya adalah Master of Study. Secara garis besar, drama ini bercerita tentang seorang pengacara miskin bernama Kang Suk Ho (Kim Soo Ro) yang ditugaskan untuk memulihkan prestasi sekolah SMA Byung Meon. Karena itu dia membuka kelas khusus yang terdiri atas 5 orang, yaitu Hwang Baek Hyun (Yoo Seung Ho), anak yatim piatu yang bandel tapi sangat menyayangi neneknya, Na Hyun Jung (Jiyeon T-Ara) yang menyukai Baek Hyun, Gil Pul Ip (Go Ah Sung) yang mempunyai masalah dengan ibunya, Hong Chan Doo (Lee Hyun Woo) yang mempunyai bakat dance namun didesak untuk kuliah di luar negeri, dan Oh Bong Goo (Lee Chan Ho) yang cukup pintar dalam bidang akademi namun ortunya tidak terlalu memperhatikan edukasinya karena ingin anaknya mewarisi restoran mereka. Cerita ini benar-benar sarat akan motivasi. Sebodoh apapun kita, apabila kita berusaha maka kita akan mencapainya. Bukan hanya mengenai belajar, namun drama ini juga dipermanis dengan komedi dan cinta. Alur cerita pun tidak membosankan sehingga kita betah menontonnya sampai akhir. Dan yang paling saya suka: di akhir episode biasanya ada tips belajar dari aktor-aktris pemeran drama ini. Saya sampai mencatatnya sebagai pengingat.
Yang saya heran, mengapa produser sinetron Indonesia tidak ada yang membuat sinetron edukatif seperti itu? Seandainya sinetron yang saya tonton zaman SD seperti itu, mungkin saya sudah sangat terpacu untuk belajar dan lebih banyak berusaha daripada berangan-angan. Padahal drama Master of Study itu kehidupannya tidak jauh berbeda dengan kehidupan sehari-hari kita, mengapa sinetron kita tidak menyederhanakan konsep ceritanya daripada menambah kesan lebay yang seringkali saya tertawakan? Apakah selera penonton Indonesia memang begitu?
Semoga sinetron Indonesia bisa lebih mendidik sehingga tidak menumbuhkan doktrin seperti yang saya alami dulu.