NAMA : ILHAM FIRMANSYAH
NPM : 13210430
KELAS : 3EA17
Tema : Analisis Ekonomi Atas Perkembangan Hukum Bisnis Indonesia
• Penyusun : Peri Umar Farouk
• Tahun Pembuatan : Maret, 2001
Latar Belakang
Suatu masyarakat yang sehat cenderung memilih atau menciptakan
hukum-hukum yang dapat mempromosikan efisiensi ekonomi. Untuk mengukur
apakah hukum yang dipilih atau diciptakan turut mempromosikan efisiensi
ekonomi, maka diperlukan pendekatan terhadap hukum yang tidak
semata-mata hukum an sich. Oleh karena itu tulisan ini membahas suatu
pendekatan terhadap hukum yang semakin hari semakin berkembang, yakni
“Economic Analysis of Law”.
Dalam tulisan ini juga dikemukakan perkembangan Economic Analysis of Law
di Indonesia, serta beberapa contoh aplikasi, sehingga dapat dilihat
bahwa pendekatan ekonomi atas hukum memang relevan dan bermanfaat bagi
perkembangan hukum di Indonesia. Dalam hal ini secara umum fokus
pembahasannya adalah mengenai fenomena-fenomena yang menjadi
kecenderungan di bidang hukum bisnis, yang secara implisit maupun
eksplisit dapat menimbulkan ketidakefisienan (inefficient).
Kecenderungan-kecenderungan tersebut berkenaan dengan diwajibkannya
pelibatan profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur
peraturan perundang-undangan, ketidakefisienan dalam pembentukan
lembaga-lembaga pendukung di bidang hukum bisnis, serta adanya
ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan.
Analisis Ekonomi Atas Hukum
Bidang Analisis Ekonomi Atas Hukum, atau yang umumnya dikenal sebagai
“Economic Analysis of Law” dianggap muncul pertama kali melalui
pemikiran utilitarianisme Jeremy Bentham (1789), yang menguji secara
sistemik bagaimana orang bertindak berhadapan dengan insentif-insentif
hukum dan mengevaluasi hasil-hasilnya menurut ukuran-ukuran
kesejahteraan sosial (social welfare). Pemikiran utilitarianisme hukum
Bentham tersebut tersebar dalam tulisan-tulisannya berupa analisis atas
hukum pidana dan penegakannya, analisis mengenai hak milik (hukum
kepemilikan), dan ’substantial treatment’ atas proses-proses hukum.
Namun pemikiran ala Bentham tersebut mandeg sampai tahun 1960-an, dan
baru berkembang pada awal tahun 1970-an, dengan dipelopori oleh
pemikiran-pemikiran dari Ronald Coasei (1960), dengan artikelnya yang
membahas permasalahan eksternalitas dan tanggung jawab hukum; Becker
(1968), dengan artikelnya yang membahas kejahatan dan penegakan hukum;
Calabresi (1970), dengan bukunya mengenai hukum kecelakaan; dan Posner
(1972), dengan buku teksnya yang berjudul “Economic Analysis of Law” dan
penerbitan “Journal of Legal Studies”.ii
Secara garis besar Analisis Ekonomi Atas Hukum menerapkan pendekatannya
untuk memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan dasar mengenai
aturan-aturan hukum. Yakni analisis yang bersifat ‘positive’ atau
‘descriptive’, berkenaan dengan pertanyaan apa pengaruh aturan-aturan
hukum terhadap tingkah laku orang yang bersangkutan (the identification
of the effects of a legal rule); dan analisis yang bersifat ‘normative’,
berkenaan dengan pertanyaan apakah pengaruh dari aturan-aturan hukum
sesuai dengan keinginan masyarakat (the social desirability of a legal
rule). Pendekatan yang dipakai Analisis Ekonomi Atas Hukum terhadap dua
permasalahan dasar tersebut, adalah pendekatan yang biasa dipakai dalam
analisis ekonomi secara umum, yakni menjelaskan tingkah laku, baik
manusia secara perorangan maupun perusahaan-perusahaan, yang berwawasan
ke depan (forward looking) dan rasional, serta mengadopsi kerangka
kesejahteraan ekonomi untuk menguji keinginan masyarakat.iii
Steven Shavell, professor di Harvard Law School, menjelaskan lebih
lanjut mengenai analisis yang bersifat deskriptif dan normatif dari
Analisis Ekonomi Atas Hukum dengan mengemukakan manfaat atau tujuan
akhir dari analisis dimaksud. Dengan analisis deskriptif dapat dikatakan
rasional, bilamana orang bertindak untuk memaksimalkan tujuan atau
keuntungan yang diharapkannya. Sebagai contoh adalah pertanyaan mengapa
orang sangat berhati-hati dalam mengendarai kendaraannya, walaupun
misalnya orang tersebut mempunyai asuransi, dapat dijawab dengan
kemungkinan bahwa ia tidak mau mengalami luka akibat kecelakaan, adanya
ketentuan mengenai tanggung jawab atau adanya resiko diajukan ke
pengadilan. Sedangkan dengan analisis normatif dapat diterangkan bahwa
satu aturan hukum tertentu lebih baik dari aturan hukum lain bilamana
memberikan level tertinggi bagi ukuran kesejahteraan sosial. Contoh yang
dapat diberikan misalnya bilamana masyarakat menghendaki untuk
meminimalisasi jumlah kecelakaan lalu lintas, maka aturan hukum yang
terbaik adalah yang memberikan hukuman atau sanksi bagi
penyebab-penyebab kecelakaan.iv
Perkembangannya sekarang, Analisis Ekonomi Atas Hukum tidak terbatas
pada dua permasalahan dasar sebagaimana dijelaskan di muka, namun meluas
pada setiap penggunaan prinsip-prinsip ekonomi terhadap
permasalahan-permasalahan hukum dan kebijakan publik. Hal ini dapat
dilihat dari pengertian Economic Analysis of Law yang diberikan oleh
William and Mary School of Law dalam ensiklopedia onlinenya sebagai
berikut :
“A study of many applications of economic reasoning to problems of law
and public policy including economic regulation of business; antitrust
enforcement; and more basic areas such as property rights, tort and
contract law and remedies, and civil or criminal procedures. No
particular background in economics is required; relevan economic
concepts will developed through analysis of various legal
applications.”v
Perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum Di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa unsur ekonomi dalam pembuatan kebijakan,
baik pada tingkat pembentukan, implementasi maupun enforcement peraturan
perundang-undangan telah sangat berpengaruh di Indonesia. Secara resmi
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan salah satu arah
Kebijakan Program Pembangunan Nasional Bidang Hukum, yakni mengembangkan
peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam
menghadapi era perdagangan bebas. Tentunya arah kebijakan tersebut
merupakan satu indikator kuatnya pengaruh atau tujuan ekonomi dalam
perkembangan hukum di Indonesia.
Memang secara teoritis konseptual, aliran Analisis Ekonomi Atas Hukum
belum fenomenal dan melembaga di Indonesia, sebagaimana menimpa juga
aliran-aliran hukum lain. Sehubungan dengan gejala tersebut, relevan
mengemukakan pendapat Ifdhal Kasim, bahwa di Indonesia kajian-kajian
yang merupakan kritik-teori atau doktrin atas suatu paradigma atau
pendekatan tertentu dalam kajian hukum kurang berkembang. Ahli-ahli
hukum di Indonesia kurang bergairah dalam melakukan penjelajahan
teoritis atas berbagai paradigma dalam ilmu hukum atau taking doctrine
seriously.vi Meskipun demikian perbincangan mengenai Analisis Ekonomi
Atas Hukum bukannya sama sekali tidak ada. Hal ini dapat dilihat
misalnya dalam teks oratio dies Universitas Katolik Parahyangan Bandung
pada tahun 1995, dengan mengemukakan kerangka berpikir :
1. Berdasarkan pengamatan empiris upaya perlindungan lingkungan yang
hanya digantungkan pada penggunaan instrumen hukum (legal instruments)
terbukti kurang efektif.
2. Praktek-praktek perlindungan lingkungan di negara lain, ternyata
sudah menerapkan konsep mixed-tools of compliance, dimana instrumen
ekonomi (economic instruments) merupakan salah satu insentif yang
membuat potensial pencemar mematuhi ketentuan Hukum Lingkungan.
3. Terdapat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bidang
lingkungan hidup yang memberikan dasar hukum yang kuat untuk menerapkan
konsep mixed-tools of compliance.vii
Konsern atas pendekatan ekonomi terhadap hukum juga diberikan oleh Thee
Kian Wie, yang menekankan perlunya aspek ekonomi diperhatikan dalam
implementasi UU No. 5/1999 dengan mengemukakan bahasan pengkategorian
monopoli, persaingan tidak sehat, kartel, price fixing, market division,
merger, cross-shareholding, dan sebagainya.viii Tidak kalah menariknya
juga pembahasan Heru Supraptomo terhadap Hukum Perbankan dengan
pendekatan ekonomi. Sambil mengutip pendapat Posner, ia menyatakan bahwa
:
“…, ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool)
untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang
terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum
ini belum berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran
ataupun dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk
ketentuan-ketentuan dalam hukum perbankan.”ix
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
keinginan untuk melibatkan prinsip atau teori ekonomi dalam perkembangan
hukum di Indonesia telah tampak, meskipun masih belum sebagaimana yang
diharapkan. Kajian yang semakin sadar dan berkesinambungan tentunya akan
lebih memberikan manfaat bagi perancangan sistem hukum, pembentukan,
penerapan dan enforcement peraturan perundang-undangan, mengingat
sebagaimana perkembangan di Amerika Serikat, pendekatan ekonomi atas
hukum telah menggejala di setiap bidang hukum.
Implementasi Dalam Hukum Bisnis
Guna memperjelas pembahasan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum,
terutama implementasinya dalam bidang hukum bisnis di Indonesia, maka di
bawah akan dikritisi beberapa permasalahan yang aktual yang dihadapkan
dengan prinsip efisiensi ekonomi (economic efficiency). Pemilihan
prinsip efisiensi ini berdasarkan pada kemudahannya untuk dipahami,
karena tidak memerlukan rumusan-rumusan teknis ilmu ekonomi atau rumus
berupa angka-angka. Yang menjadi fokus perhatian adalah berkenaan dengan
kemungkinan munculnya ketidakefisienan (inefficiency) dari pembentukan,
penerapan maupun enforcement dari peraturan perundang-undangan.
Pertama berkenaan dengan kecenderungan diwajibkannya pelibatan profesi
hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan
perundang-undangan. Hal ini misalnya terlihat dalam Pasal 5
Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF), yang
mengharuskan dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dengan
akta notaris. Sutan Remy Sjahdeini memberikan komentar terhadap pasal
tersebut dengan mengatakan tidak jelasnya alasan harus dibuatnya
pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil, mengingat di
dalam praktik selama ini, perjanjian Fidusia cukup dibuat dengan akta di
bawah tangan.x
Bilamana keharusan tersebut dihubungkan dengan kewajiban selanjutnya
berupa pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia, tentunya juga masih
dapat dipertanyakan kemanfaatan pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia
secara notariil tersebut dibandingkan dengan pembebanan secara di bawah
tangan. Secara ekonomis pembebanan secara notariil akan sangat
memberatkan para debitor, terutama bagi debitor pengusaha lemah. Bahkan
terjadi dalam praktik sekarang ini, walaupun mengenai biaya pembuatan
akta telah diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun karena tidak ada
pilihan lain kecuali memakai jasa notaris yang ijin prakteknya di daerah
yang bersangkutan, maka notaris tersebut dapat secara sewenang-wenang
untuk menetapkan besarnya biaya pembuatan akta.
Sebelumnya berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah (UUHT) ditetapkan juga bahwa pemberian Hak Tanggungan
dilakukan dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Alasan penerapan ketentuan ini adalah
bahwa PPAT merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta
pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas
tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak di daerah
kerjanya.
Terhadap ketentuan UUHT inipun disampaikan kritik yang sama berkenaan
dengan pembebanan yang secara ekonomis memberatkan debitor pengusaha
lemah. Menanggapi hal tersebut melalui Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 tentang
Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-kredit Tertentu, pemerintah memberikan
kemungkinan bagi SKMHT jenis kredit tertentu berlaku sampai berakhirnya
masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.
Kecenderungan tersebut juga terlihat dalam Rancangan Undang-undang
Perkreditan Perbankan (RUU-PP) yang dibuat oleh DPR, yang menetapkan
bahwa akta perjanjian kredit dibuat di hadapan notaris.xi Oleh karena
itu terdapat pandangan sinis di masyarakat dengan menyebutkan peraturan
perundang-undangan yang memuat ketentuan seperti itu sebagai hasil dari
‘Notaris Connection”.
Kritik inefisiensi terhadap notaris sebagaimana dibahas di atas juga
menimpa profesi hukum lain, yakni penasehat hukum. Pasal 5 Undang-undang
Kepailitan, menetapkan bahwa permohonan berkenaan dengan proses
kepailitan harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki
izin praktek (dalam hal ini izin praktek pengacara kepailitan).
Permohonan tersebut antara lain berupa permohonan pernyataan pailit,
permohonan sita jaminan dan penunjukan kurator, permohonan Kasasi,
pengajuan Memori Kasasi, permohonan Peninjauan Kembali, permohonan
penangguhan sementara, pengangkatan penangguhan dan perubahan
syarat-syarat penangguhan, tuntutan pembatalan perdamaian, serta
permohonan rehabilitasi di bidang kepailitan. Alasan diwajibkannya
penggunaan penasehat hukum yang memiliki izin praktek tersebut, memang
masuk di akal bilamana dihubungkan dengan singkatnya waktu yang
diperlukan dalam proses acara kepailitan serta diperlukannya
spesialisasi dan professionalitas pengacara kepailitan. Namun ditinjau
dari perspektif adanya pembatasan bagi kalangan tertentu untuk ikut
dalam ujian kepengacaraan, seperti kalangan internal corporate lawyer
BUMN, maka secara ekonomis bagi perusahaan-perusahaan BUMN, Pasal 5
Undang-undang Kepailitan akan sangat memberatkan. Hal tersebut terjadi
karena dianggapnya pegawai BUMN sebagai Pegawai Negeri Sipil, sehingga
tidak diperkenankan ikut dalam ujian kepengacaraan. Padahal bilamana
internal corporate lawyer BUMN diperkenankan memiliki sertipikat
pengacara kepailitan, maka proses acara kepailitan tidak perlu diwakili
oleh external corporate lawyer yang berbiaya tinggi.
Kedua berkenaan dengan ketidakefisienan dalam pembentukan
lembaga-lembaga pendukung di bidang hukum bisnis. Misalnya pembentukan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)xii, Badan Perlindungan Konsumen
Nasional (BPKN)xiii, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)xiv
yang dilakukan secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri pada
gilirannya akan menimbulkan pemborosan. Segala biaya untuk pelaksanaan
tugas lembaga-lembaga tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Padahal di Amerika Serikat sendiri sebagai negara
pelopor persaingan usaha sehat dan perlindungan konsumen, tugas
sebagaimana dibebankan kepada KPPU, BPKN dan BPSK dicakup atau merupakan
tugas satu lembaga yang bernama Federal Trade Commission (FTC). Sebagai
bahan perbandingan di bawah ini dikutipkan posisi dan tugas FTC antara
lain sebagai berikut :
“The basic objective of the FTC is to promote free and fair trade
competition in the American economy. … It provides guidance to business
and industry on what they may do under the laws administered by the
commission. It also gathers and makes available to Congress, the
president, and the public factual data on economic and business
conditions.
The FTC consists of five commissioners who are appointed for 7-year
terms by the president, with the advice and consent of the Senate. Not
more than three of the commissioners may be members of the same
political party. One commissioner is chosen as chair by the president.
The most prominent and active consumer protection agency this year was
the Federal Trade Commission.”xv
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka pendekatan ekonomi relevan
dikemukakan berkenaan dengan gagasan pembentukan lembaga penunjang hukum
bisnis, sehingga nilai efisiensi dari pembentukan lembaga tersebut
dapat dimaksimalisasi. Contohnya bilamana suatu lembaga yang digagas,
tugas-tugasnya mendekati atau dapat dibebankan kepada lembaga yang sudah
ada, maka tidak perlu membentuk lembaga baru.
Permasalahan lain yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah
ketidakharmonisan antara satu peraturan perundang-undangan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini dapat dikemukakan
misalnya adanya ketentuan hukum yang menyimpang dari prinsip pokok
pengembangan lembaga non-litigasi, terutama kewajiban pengadilan untuk
menolak perkara dimana para pihak sendiri telah memilih penyelesaian
secara non-litigasi. Ketentuan tersebut tampak pada ketentuan Pasal 45
ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
yakni yang mengatur sebagai berikut :
“Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para
pihak yang bersengketa.”
Pasal seperti ini tidak memberikan kepastian hukum. Seyogyamya bila
upaya penyelesaian di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak,
upaya tersebut harus dilalui sebagaimana mestinya, dan pengadilan wajib
untuk menolak gugatannya. Ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menetapkan
bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para
pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Contoh lain ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan yang
dapat menimbulkan inefisiensi adalah mengenai wajib simpan dokumen
perusahaan. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang
Dokumen Perusahaan, bertujuan untuk mereformasi Pasal 6 Kitab
Undang-undang Hukum Dagang dengan mengurangi jangka waktu kewajiban
menyimpan dokumen perusahaan yang tadinya 30 (tiga puluh) tahun menjadi
10 (sepuluh) tahun. Namun berhadapan dengan ketentuan mengenai daluarsa,
pembaruan jangka waktu tersebut menjadi tidak berarti. Sehingga pilihan
untuk memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu dan biaya dalam
pemeliharaan dokumen dengan kemungkinan memusnahkannya setelah lewat
waktu 10 tahun, berhadapan dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar
yang akan timbul dari proses pembuktian di pengadilan. Apalagi bila hal
tersebut ditambah dengan kekakuan pengadilan dalam menerima bukti yang
hanya berupa bukti-bukti tertulis saja, sehingga pengalihan dokumen
perusahaan dalam bentuk paperless media yang juga dimungkinkan
berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan akan semakin
memperburuk kondisi inefisiensi.
Penutup
Dengan memaparkan perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum, serta
melibatkannya dalam kebijakan dan praktik hukum di Indonesia, maka
menjadi lebih terbuka kemungkinan perubahan paradigma serta lebih banyak
alternatif pemikiran yang dapat disumbangkan dalam pengkajian hukum di
Indonesia. Tulisan ini merupakan pengantar bagi studi yang lebih jauh
terhadap Analisis Ekonomi Atas Hukum, namun demikan pada tingkatnya yang
sangat minimal telah dapat memunculkan salah satu kritik penting
berkenaan dengan masalah economic efficiency yang secara tidak sadar ada
dalam perkembangan hukum bisnis di Indonesia. Oleh karena itu relevan
kiranya untuk masa yang akan datang, memfungsikan model Analisis Ekonomi
Atas Hukum disamping model teori hukum lain ke segenap proses hukum di
Indonesia, baik dalam tingkat pembentukan, penerapan atau penegakan
hukum dan dalam menganalisis doktrin serta menguji keabsahan suatu
sistem sosial dan kebijakan-kebijakan tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar