Perlindungan
konsumen dari kecurangan pelaku bisnis
Sebagai
sebuah perusahaan, sudah sewajarnya apabila perusahaan memperoleh
keuntungan dari hasil melakukan kegiatan bisnisnya. Salah satu alasan bagi
pelaku usaha membentuk suatu perusahaan adalah untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya. Tidak ada yang salah dengan konsep tersebut, yang menjadi
salah adalah apabila pelaku usaha berusaha untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan cara yang curang sehingga dapat merugikan konsumen.
Perlindungan konsumen di Indonesia mulai dikenal pada tahun 1999, dimana jika
dilihat dari sejarah hukum Indonesia, masa 1998-1999 merupakan masa yang paling
banyak menerbitkan Undang – Undang. Salah satu Undang – Undang yang diterbitkan
adalah Undang – Undang no 8 tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen (UUPK).
Dalam UUPK tersebut telah diatur mengenai hak dan kewajiban baik dari konsumen
maupun pelaku usaha, tindakan – tindakan yang dilarang bagi pelaku usaha hingga
sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar. Dilihat dari segi substantif, maka
UUPK ini dapat menjadi dasar bagi konsumen yang merasa dirugikan untuk menuntut
kepada pelaku usaha, meskipun memang dirasakan masih banyak kekurangannya.
Sejak diterbitkannya UUPK ini hingga sekarang, masih dapat
dirasakan bahwa peraturan ini tidak banyak memberikan perubahan terhadap
kondisi antara pelaku usaha dan konsumen. Perhatian masyarakat bisnispun tidak
sebesar terhadap Undang – Undang Monopoli meskipun dibuat pada tahun yang
bersamaan. Hal ini dapat diartikan ada sesuatu yang tidak berjalan dengan baik
sehingga hasilnya tidak memuaskan. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan
agar upaya perlindungan konsumen ini dapat berjalan dengan baik :
- Memperkuat lembaga masyarakat dalam hal perlindungan konsumen
Dengan kondisi Indonesia, dimana tingkat pendidikannya masih
rendah, akan sangat sulit bagi pemerintah untuk menerapkan UUPK ini. Masyarakat
belum memiliki kemampuan yang cukup untuk mengetahui kecurangan yang dilakukan
oleh pelaku usaha yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi. Untuk itu,
diperlukan peran yang kuat dari lembaga masyarakat yang memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi yang dapat mengawasi perbuatan – perbuatan curang yang
dilakukan oleh pelaku usaha. Tentu saja, untuk program jangka panjang,
pemerintah perlu meningkatkan tingkat pendidikan masyarakatnya, namun untuk
solusi jangka pendek, pembentukan lembaga masyarakat ini dapat memberikan
sistem pengawasan sebagai wakil dari masyarakat.
- Pembentukan skema pengaduan yang efektif dan efisien.
salah satu hal yang menyebabkan tidak efektifnya UUPK ini
dikarenakan tidak adanya skema pengaduan yang jelas. Perlu dipahami bahwa
sebagian besar kerugian yang dialami oleh konsumen secara perseorangan bukanlah
kerugian dalam jumlah yang besar, namun jika kerugian yang kecil itu terjadi
pada konsumen dalam jumlah yang besar, maka jumlahnya akan menjadi sangat
besar. Jika seseorang mengalami kerugian yang besar, maka secara otomatis dia
kan meminta ganti rugi, namun jika kerugianya tidak sebanding dengan rumitnya
proses yang dilalui untuk memperoleh kerugian tersebut, maka konsumen akan
bersikap menerima kerugian tersebut. Terdapat banyak konsumen yang merasa
dirugikan namun “malas” untuk melaporkannya karena nilai kerugian yang kecil
dan rumitnya proses yang harus dilalui.
- Sosialisasi putusan pengadilan terkait kasus-kasus perlindungan konsumen
Hingga saat ini sudah terdapat beberapa putusan pengadilan
terkait kasus perlindungan konsumen yang memenangkan pihak konsumen. Sebagai
contoh, putusan pengadilan yang memutuskan bahwa pengelola parkir bertanggung
jawab atas segala kehilangan maupun kerusakan dari penyewa parkir seharusnya
disebarkan oleh para stakeholders dalam bidang perlindungan konsumen. Dengan
adanya jurisprudensi ini, maka konsumen dapat membantah pelaku usaha yang
dengan sengaja menerapkan klausul di karcis parkir yang mengatakan kerusakan
dan kehilangan ditanggung pemilik kendaraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar