Selasa, 26 November 2013

TULISAN 5



Perlindungan konsumen dari kecurangan pelaku bisnis

Sebagai sebuah perusahaan, sudah sewajarnya apabila  perusahaan memperoleh keuntungan dari hasil melakukan kegiatan bisnisnya. Salah satu alasan bagi pelaku usaha membentuk suatu perusahaan adalah untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Tidak ada yang salah dengan konsep tersebut, yang menjadi salah adalah apabila pelaku usaha berusaha untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara yang curang sehingga dapat merugikan konsumen. Perlindungan konsumen di Indonesia mulai dikenal pada tahun 1999, dimana jika dilihat dari sejarah hukum Indonesia, masa 1998-1999 merupakan masa yang paling banyak menerbitkan Undang – Undang. Salah satu Undang – Undang yang diterbitkan adalah Undang – Undang no 8 tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen (UUPK). Dalam UUPK tersebut telah diatur mengenai hak dan kewajiban baik dari konsumen maupun pelaku usaha, tindakan – tindakan yang dilarang bagi pelaku usaha hingga sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar. Dilihat dari segi substantif, maka UUPK ini dapat menjadi dasar bagi konsumen yang merasa dirugikan untuk menuntut kepada pelaku usaha, meskipun memang dirasakan masih banyak kekurangannya.
Sejak diterbitkannya UUPK ini hingga sekarang, masih dapat dirasakan bahwa peraturan ini tidak banyak memberikan perubahan terhadap kondisi antara pelaku usaha dan konsumen. Perhatian masyarakat bisnispun tidak sebesar terhadap Undang – Undang Monopoli meskipun dibuat pada tahun yang bersamaan. Hal ini dapat diartikan ada sesuatu yang tidak berjalan dengan baik sehingga hasilnya tidak memuaskan. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan agar upaya perlindungan konsumen ini dapat berjalan dengan baik :
  • Memperkuat lembaga masyarakat dalam hal perlindungan konsumen
Dengan kondisi Indonesia, dimana tingkat pendidikannya masih rendah, akan sangat sulit bagi pemerintah untuk menerapkan UUPK ini. Masyarakat belum memiliki kemampuan yang cukup untuk mengetahui kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi. Untuk itu, diperlukan peran yang kuat dari lembaga masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi yang dapat mengawasi perbuatan – perbuatan curang yang dilakukan oleh pelaku usaha. Tentu saja, untuk program jangka panjang, pemerintah perlu meningkatkan tingkat pendidikan masyarakatnya, namun untuk solusi jangka pendek, pembentukan lembaga masyarakat ini dapat memberikan sistem pengawasan sebagai wakil dari masyarakat.
  •  Pembentukan skema pengaduan yang efektif dan efisien.
salah satu hal yang menyebabkan tidak efektifnya UUPK ini dikarenakan tidak adanya skema pengaduan yang jelas. Perlu dipahami bahwa sebagian besar kerugian yang dialami oleh konsumen secara perseorangan bukanlah kerugian dalam jumlah yang besar, namun jika kerugian yang kecil itu terjadi pada konsumen dalam jumlah yang besar, maka jumlahnya akan menjadi sangat besar. Jika seseorang mengalami kerugian yang besar, maka secara otomatis dia kan meminta ganti rugi, namun jika kerugianya tidak sebanding dengan rumitnya proses yang dilalui untuk memperoleh kerugian tersebut, maka konsumen akan bersikap menerima kerugian tersebut. Terdapat banyak konsumen yang merasa dirugikan namun “malas” untuk melaporkannya karena nilai kerugian yang kecil dan rumitnya proses yang harus dilalui.
  • Sosialisasi putusan pengadilan terkait kasus-kasus perlindungan konsumen
Hingga saat ini sudah terdapat beberapa putusan pengadilan terkait kasus perlindungan konsumen yang memenangkan pihak konsumen. Sebagai contoh, putusan pengadilan yang memutuskan bahwa pengelola parkir bertanggung jawab atas segala kehilangan maupun kerusakan dari penyewa parkir seharusnya disebarkan oleh para stakeholders dalam bidang perlindungan konsumen. Dengan adanya jurisprudensi ini, maka konsumen dapat membantah pelaku usaha yang dengan sengaja menerapkan klausul di karcis parkir yang mengatakan kerusakan dan kehilangan ditanggung pemilik kendaraan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar