HAK UNTUK MENDAPATKAN PEKERJAAN
Mengacu pada pasal 27 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa setiap warga
negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Pasal tersebut juga dapat diterjemahkan bahwa
sebenarnya seluruh warga negara Indonesia tidak berkeinginan menjadi
pengangguran dan juga tidak kepingin menjadi orang miskin.
Pada hakekatnya mengandung makna
bahwa setiap warga negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapatkan pekerjaan
harus diberikan perlindungan dalam rangka mewujudkan manusia dan
masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil
maupun spiritual.
Setiap warga negara Indonesia
yang bermaksud mendapatkan pekerjaan didalam maupun di luar negeri, baik
pekerjaan formal maupun pekerjaan informal disebut Pencari Kerja. Pemenuhan hak
untuk mendapatkan pekerjaan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, dapat
dilakukan oleh setiap warga negara secara perorangan maupun kelompok.
Pembangunan ketenagakerjaan
mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan, keterkaitan itu tidak hanya dengan
kepentingan tenaga kerja tetapi juga dengan kepentingan pengusaha, pemerintah
dan masyarakat. Untuk itu diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan
konprehensif antara lain mencakup tentang pelayanan penempatan tenaga kerja,
perluasan kesempatan kerja dan hubungan industrial.
Terkait dengan pelayanan
penempatan kepada pencari kerja ( tenaga kerja ) maka pemerintah dan masyarakat
bertanggung jawab dalam upaya perluasan kesempatan kerja dan pendayagunaan
tenaga kerja secara optimal serta penempatan tenaga kerja yang sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan.
Merujuk pasal 32 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan bahwa dalam pelayanan
penempatan tenaga kerja dilaksanakan secara terbuka, bebas, obyektif, serta
adil, dan setara tanpa diskriminasi.
Selain itu penempatan tenaga
kerja diupayakan sesuai antara kompetensi tenaga kerja dengan kualifikasi
jabatan yang ada.
Dalam pelaksanaan pelayanan
penempatan kerja bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja
yang meliputi unsur – unsur pencari kerja, lowongan kerja, informasi pasar
kerja, mekanisme antar kerja dan kelembagaan antar kerja, walaupun dalam
implementasinya unsur-unsur tersebut dapat dilaksanakan secara terpisah yang
ditujukan untuk terwujudnya penempatan tenaga kerja.
KELEMBAGAAN ANTAR KERJA
Sejak tahun 1990 pemerintah
telah melakukan regulasi dibidang penempatan tenaga kerja, terutama lembaga
pelayanan penempatan kerja, yang sebelumnya kegiatan penempatan dilakukan hanya
oleh pemerintah, bentuk regulasi tersebut dengan mengajak peran serta
masyarakat untuk bersama-sama menangani permasalahan penempatan yang semakin
komplek, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika
masyarakat pencari kerja dan pengguna tenaga kerja. Lembaga pelaksana
penempatan kerja berperan dalam melaksanakan fungsi-fungsi antar kerja yakni
memberikan pelayanan informasi pasar kerja, penyuluhan dan bimbingan jabatan
serta pelayanan perantaraan kerja yang semua fungsi tersebut termaktub dalam
unsur-unsur pelayanan penempatan kerja yang saling berkait.
Sesuai dengan pasal 37 ayat 1 UU
Nomor 13 tahun 2003 yang dijabarkan lebih lanjut dengan Permenakertrans RI dan
Permenakertrans RI Nomor : Per. 07/Men/IV/2008 Tentang Penempatan Tenaga Kerja,
bahwa pelaksana penempatan terdiri dari :
1. Instansi pemerintah
yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, artinya disini adalah
Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten / Kota yang membidangi ketenagakerjaan.
2. Lembaga Swasta
berbadan hukum, bentuk Perseroan Terbatas, Koperasi atau lembaga pelatihan
kerja, lembaga tersebut meliputi.
a. Pelaksana
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang mempunyai kewenangan
untuk menempatan tenaga kerja ke luar negeri.
b. Lembaga Pelaksana
Penempatan Tenaga Kerja Swasta ( LPTKS) terbagi dalam 3 (tiga) kewenangan
penempatan yakni :
a.a. LPTKS Antar Kerja Antar Daerah yang
ijin operasionalnya dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, mempunyai
kewenangan penempatan lintas provinsi di NKRI;
b.b. LPTKS Antar Kerja Antar Lokal yang ijin
operasionalnya dari Gubernur / Dinas yang membidangi ketenagakerjaan provinsi,
mempunyai kewenangan penempatan regional satu provinsi / lintas kabupaten /
kota;
c.c. LPTKS Antar Kerja Antar Daerah yang
ijin operasionalnya dari Bupati/Walikota / Dinas yang membidangi
ketenagakerjaan Kab/Kota, mempunyai kewenangan penempatan terbatas wilayah
kerja kab / kota yang bersangkutan.
3. Bursa Kerja Khusus (BKK), lembaga
ini berada di Sekolah Menengah Kejuruan, Perguruan Tinggi dan Lembaga Pelatihan
Kerja. Lembaga tersebut mempunyai kewenangan untuk menyalurkan dan
menempatan pencari kerja bagi alumninya.
BENTUK PERLINDUNGAN (NORMATIF)YANG WAJIB
DIPENUHI:
Disebutkan dalam pasal 35 ayat
2 UU Nomor 13 tahun 2003, bahwa Pelaksana Penempatan tenaga kerja dalam
memberikan pelayanan penempatan kepada pencari kerja wajib memberikan
perlindungan kepada pencari kerja / tenaga kerja sejak rekrutmen sampai dengan
penempatan, bentuk perlidungan tersebut antara lain :
1. Sesuai dengan asas terbuka
bahwa pencari kerja berhak diberikan informasi yang benar, jelas dan
bertanggung jawab yang mencakup jenis pekerjaan, upah yang akan diterima, jam
kerja / waktu kerja, tempat kerja, hal ini untuk menghidari terjadinya
perselisihan setelah pencari kerja ditempatkan;
2. Pencari kerja bebas
memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan, dan memperoleh penghasilan yang
layak, mengandung makna bahwa pencari kerja tidak dibenarkan untuk dipaksa
menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan minatnya, demikian juga pihak
pengguna juga tidak boleh dipaksa menerima tenaga kerja yang tidak sesuai
dengan kebutuhan.
3. Pemberi kerja dalam
menawarkan pekerjaan yang sesuai / cocok kepada pencari kerja / tenaga kerja
harus obyektif, dan harus memperhatikan kepentingan umum.
4. Pelayanan penempatan
tenaga kerja harus adil dan setara artinya penempatan
didasarkan pada kemampuan tenaga kerja dan tidak didasarkan atas ras, jenis
kelamin, warna kulit, agama, aliran, status, dan golongan (diskriminasi).
5. Bentuk perlindungan
lain yang sangat penting antara lain :
a.
Mengadministrasikan, menyimpan data pencari kerja dan memberikan data tersebut
kepada pihak-pihak yang diperbolehkan, misal data diberikan kepada calon
pengguna tenaga kerja / lembaga penyalur untuk kepentingan seleksi.
b. Perjanjian Penempatan
(PP) yang ditanda tangani oleh pencari kerja, dan lembaga pelaksana penempatan
swasta yang diketahui oleh Dinas yang membidangi ketenagakerjaan, dokumen
berisi tentang hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak serta tata cara
melaksanakan kerja. Dokumen tersebut sangat diperlukan guna menjamin kepastian
hukum bagi masing-masing pihak karena ada pasal tentang jangka waktu kapan
harus ditempatkan. PP tersebut dibuat setelah pencari kerja dinyatakan lulus
seleksi.
c. Perjanjian Kerja
(PK) yang dibuat secara tertulis atau lisan, PK yang dibuat secara tertulis,
sekurang kurangnya memuat identitas perusahaan dan tenaga kerja, jabatan,
tempat kerja, upah, cara membayar, syarat-syarat kerja ( hak dan kewajiban
pengguna dan tenaga kerja ), mulai kerja, jangka waktu, tempat dan tanggal PK
dibuat dan tanda tangan masing-masing pihak. Perjanjian Kerja yang dibuat oleh
para pihak tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
d. Mengikutsertakan
tenaga kerja dalam Program Jaminan asuransi tenaga kerja.
PERMASALAHAN
Mencermati pelayanan antar kerja
yang seharusnya setiap pencari kerja mendapatkan hak-hak normatif sesuai
ketentuan yang ada, nampaknya belum sepenuhnya diberikan oleh seluruh pelaksana
penempatan kerja yang ada, bahkan terdapat oknum lembaga penempatan swasta yang
kurang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan penempatan kepada pencari kerja,
masih ditemukan praktek-praktek yang merugikan pencari kerja, misal : pelayanan
ala kadarnya, dipungut biaya, ditipu, diperas dan diperdagangkan
(trafiking).
Permasalahan lain yang dihadapi
lembaga pelaksana penempatan antara lain sumber daya manusia yang kurang
profesional karena belum terlatih dan belum berpengalaman, dan ada indikasi
dalam pelayanan cenderung hanya mengedepankan unsur bisnisnya dari pada unsur
sosialnya. Pelayanan yang buruk juga disumbang kareana sarana dan prasarana
yang kurang memadai, yang seharusnya dalam membentuk lembaga penempatan kerja
harus ada standar minimal yang harus disiapkan oleh calon lembaga tersebut
sebelum mendapatkan ijin dari instansi yang berwenang, misal bangunan untuk
kantor harus didesain layaknya kantor pelayanan antar kerja, yang minimal harus
ada ruang tunggu, ruang pendaftaran / wawancara, ruang penyuluhan / seleksi,
tempat penyimpanan dokumen dll.
Sebenarnya sitem pelayanan
penempatan kerja kepada pencari kerja sudah baik, namun implementasinya yang belum
maksimal. Sesuai ketentuan bahwa pelayanan penempatan seharusnya sudah
menggunakan Sistem On Line, namum kenyataannya baru beberapa instansi
pemerintah saja yang ada. Dipihak pencari kerja ada kalanya merasa enggan
dengan pelayanan yang diberikan oleh lembaga pelayanan kerja, yang terlalu
berbelit-belit dan cukup lama untuk dapat ditempatkan, sehingga memutuskan
mencari pekerjaan dengan caranya sendiri dan bahkan tidak sedikit yang berhasil
mendapatkan pekerjaan. Pendapat ini sebenarnya tidak terlalu benar, karena dari
aspek perlindungan biasanya kurang terjamin.
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Stake holder terkait bidang
ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten /kota secara terpadu dan terkoordinasi, lebih mengintensifkan
kegiatan pembinaan dan pengawasan ke lembaga-lembaga penempatan kerja secara
kontinyu, sehingga permasalahan yang sering muncul akan berkurang. Perlu
tindakan tegas berupa sanksi hukum kepada lembaga penempatan yang
memberikan pelayanan penempatan kepada pencari kerja yang tidak sesuai dengan
normatif yang ada. Dalam penerbitan ijin pendirian lembaga penempatan kerja
perlu diperketat, dilakukan akreditasi yang cermat sesuai standar yang telah
dibakukan.
Bentuk pembinaan terhadap
lembaga penempatan kerja mencakup bidang informasi, sumber daya manusia,
perlindungan, proses pelayanan penempatan, sarana dan prasarana serta keseuaian
penempatan antara pencari kerja dengan job yang ada.
DAMPAK HUKUM
Kita sepakati bersama bahwa
setiap kewajiban atau keharusan dalam suatu peraturan perundangan akan
berdampak hukum atau sanksi akibat tidak dipenuhinya atau dilanggarnya
kewajiban tersebut. Sesuai dengan pasal 186 ayat 1 barang siapa melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat 2 UU Nomor 13 tahun
2003, apabila Pelaksana Penempatan tenaga kerja tidak memberikan
perlindungan kepada pencari kerja / tenaga kerja sejak rekrutmen sampai dengan
penempatan, maka dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan
dan paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta
rupiah). Tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana pelanggaran
artinya lembaga peradilan dapat menerapkan salah satu sanksi tersebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar